Setiap tahunnya sekitar bulan Maret
sampai dengan Agustus adalah masa dimana calon lulusan Sekolah Menengah
Atas (SMA) atau sederajat menentukan arah tujuan hidupnya, kemanakah
saya setelah lulus SMA?. Kerjakah? Kalau kerja saya kerja dimana?,
Nikahkah? Kalau nikah saya nikah dengan siapa?, atau Kuliahkah? Tapi
kalau kuliah saya kuliah dimana? Itulah yang saya dan teman-teman saya
rasakan ketika hendak ‘melepas’ seragam kebanggaan para ABG yakni
seragam putih abu-abu.
Masa-masa seperti inilah adalah masa
yang perlu dilakukan bimbingan dan pendekatan khusus, tentunya bagi
mereka yang merasa kebingungan kemana saya harus melangkah? Jangan
sampai salah kaprah atau salah pilih jalan hidup sebab masa ini adalah
masa yang menentukan nasib seseorang dan nasib bangsa ini kedepannya.
Orang tua, Guru, dan teman dekat merupakan sumber referensi yang sangat
mereka harapkan, jadi ketiga peran inilah yang harus sebijak mungkin
memberikan referensi (bukan memaksakan) apa yang cocok untuk mereka
pilih.
Untuk urusan kerja dan nikah mungkin
seseorang juga bisa menentukannya sendiri-sendiri sesuai pilihan hati
mereka, tapi yang paling krusial adalah membimbing dan mengarahkan
mereka ketika mereka akan memilih kuliah (dimana atau jurusan apa saya
harus kuliah?) ini yang membuat mereka bingung dan perlu kita ketahui
bersama, bahwa kebingungan yang tanpa bimbingan tersebut akan membuat
seseorang salah memilih jurusan salah memilih tempat mereka kuliah, dan
akhirnya ketika mereka sudah kuliah di suatu tempat, katakanlah tempat
“X” mereka akan menyadari bahwa tempat “X” ini bukanlah tempat kuliah
yang cocok untuk mereka, dan permasalahan tidak akan berhenti sampai
disana, permasalahan seperti itu biasanya akan mengikuti pada masa-masa
kuliah terutama semester-semester awal, terkadang mahasiswa yang salah
memilih jurusan tersebut akan mengalami hambatan misalnya saja hambatan
secara akedemis, nilai-nilai akademis yang akan ia peroleh pastinya
tidak akan seperti yang diharapakan sebab secara psikologis orang yang
belajar akan sesuatu hal yang mana hal tersebut adalah hal yang tidak
disenangi maka minat seseorang untuk mempelajarinya itu akan kecil
sekali (low motivation) berbeda dengan orang yang menyenangi
sesulit apapun mata kuliahnya atau sesulit apapu yang mereka pelajari,
pasti mereka semangat dalam mempelajari sebab bagi mereka saat
mempelajarinya serasa bermain dan menyenangkan.
Maka dari itu dalam memilih program
studi/jurusan kuliah, sangat disarankan bagi siswa yang hendak
melanjutkan ke perguruan tinggi pilihlah program studi/jurusan yang
sesuai dengan potensi minat dan bakat anda, hal ini bisa dikonsultasikan
dengan Guru BK misalnya ataupun Psikolog karena mereka biasanya lebih
mengerti. Hal yang perlu diwaspadai dalam memilih jurusan kuliah adalah
paradigma sepit atau paradigma kuno yang mengatakan “pilih kuliah yang
masa depannya cemerlang terutama dari segi finansial atau pendapatan”
memang pendapat ini tidak ada salahnya karena kita belajar atau kita
kuliah toh ujung-ujungnya kita untuk mencari penghasilan. Tapi
perlu kita ketahui bahwa orang sukses bukan karena profesinya akan
tetapi karena dirinya sendiri, sangat percuma misalnya kita menjadi
seorang guru dengan gaji Rp. 5.000.000/bulan akan tetapi kita hanya
sebatas nama jadi guru tapi kita tidak mampu membuat murid cerdas, tidak
sedikit sekarang orang yang jadi guru tapi berbicara di depan kelas
saja GGM (gemetar, gugup, malu) mau mengerti bagaimana murid-muridnya?
mau dibawa kemana masa depan pendidikan Indonesia?. Meskipun gajinya Rp.
5.000.000/bulan percuma karena guru yang sukses bukanlah guru yang kaya
dengan gaji-gajinya, akan tetapi guru sukses adalah guru yang bisa
menjadi pelita dalam kegelapan bagi murid-muridnya atau guru yang bisa
menjadi embun penyejuk disaat murid-muridnya kehausan.
Satu lagi paradigma yang kuno, yaitu
anggapan bahwa ketika seseorang masuk Fakultas Kedokteran/Fakultas
Kedokteran Gigi dijamin masa depannya akan cemerlang (dari segi
finansialnya). hahahahaha…. ijinkanlah saya tertawa sebelum
saya meneruskan membahas masalah ini dan silahkan anda juga tertawa
mendengar paradigma kuno seperti ini! Entah mengapa saat ini Fakultas
Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi seperti menjadi fakultas impian
banyak orang calon mahasiswa maupun orang tuanya, ya mungkin saja
karena paradigma kuno tersebutlah yang menjadi alasannya. Menurut
penuturan dr. Iqbal Mochtar, MPH. (2009) dalam bukunya yang berjudul
“Dokter Juga Manusia” mengemukakan bahwa sebuai survei menunjukan lebih
dari sepertiga anak-anak dan remaja bercita-cita menjadi dokter. Banyak
rumor yang mengatakan Universitas “X” ada jalur khususnya masuk FK/FKG
dijamin masuk asal mampu bayar Rp. 500 juta, akibat pemberitaan buruk
seperti inilah yang menyebabkan orang tua dari mereka yang rela
menggadaikan atau menjual apapun, bahkan sampai meghalalkan segala cara
demi memasukan anaknya ke sekolah kedokteran.
Saya heran sekali uang ratusan juta
direlakan begitu saja, dengan harapan anaknya jadi dokter dan setelah
setelah jadi dokter anaknya bisa jadi kaya, dalam arti uang ratusan juta
yang dulu pas masuk sekolah kedokteran dapat kembali lagi. Omong kosong!!!!
Saya tegaskan kalau masuk sekolah kedokteran masa depan dijamin mapan,
bayangkan saja ketika orang tua ngasih duit ratusan juta buat sekolah
anaknya itu mereka harus menunggu 5-6 Tahun lagi untuk melihat anaknya
jadi dokter itupun kalau anaknya rajin, ya kalau anaknya biasa-biasa
saja kapan lulusnya?? Terus apakah ketika lulus jadi dokter akan
langsung kaya? Sekali lagi Omong kosong!!! Kalau ada yang mengatakan lulus langsung kaya. Seorang dokter/dokter gigi baru (fresh graduate)
jangankan untuk mendapatkan kembali uang ratusan juta untuk modal
praktek membeli alat ini itu saja perlu lagi uang yang tak sedikit,
misalnya saja untuk membuka praktek dokter gigi standarnya harus
memiliki kursi gigi (dental chair) itu harganya saja sekitar 10
juta keatas. Dan untuk mendapat ratusan juta itu perlu mendapatkan
pasien yang banyak, kemudian untuk dapat pasien yang banyak sungguh
tidak mudah dan takan bisa dalam waktu yang cepat, perlu adanya
kepercayaan nah meraih kepercayaan saja susahnya minta ampun
karena pasien sekarang lebih kritis. Jadi kapan uang yang ratusan juta
itu kembali?
Menurut saran saya, sebaiknya anda tidak
melihat profesi dokter/dokter gigi hanya dari satu perspektif saja,
mungkin yang anda lihat adalah sisi kehidupan para Dokter senior yang
sudah berkerja dan mengabdi puluhan tahun, tentunya sudah punya nama,
dan memang itu hal yang sangat wajar dari segi finansial dikategorikan
mapan. Disisi lain yang perlu anda lihat adalah tidak sedikit dokter
yang mengalami keadaan finansial yang memprihatinkan, hal ini sangat
memungkinkan akan menjadi beban mental dan menciptakan paradigma sempit
misalnya saja “Orang tua saya telah menyekolahkan saya beratus-ratus
juta, jumlah pasien di klinik pribadi saya banyak tapi mengapa
pendapatan saya kecil? Apakah saya harus menaikan tarif?” tidak
sedikit dokter ataupun dokter gigi yang sekarang ini mempunyai pola
pikir seperti itu, disaat rakyat kecil menjerit kesakitan karena tak
mampu untuk berobat para dokter yang notabene adalah pelayan
masyarakat, malah dengan gampangnya menaikan tarif pengobatan pasien.
Semua ini terjadi akibat paradigma awalnya yang salah ketika ia hendak
masuk sekolah Kedokteran yang menganggap jadi dokter pasti kaya dan uang
ratusan juta itupun akan kembali lagi setelah praktik, sehingga dalam
pola pikirnya sudah tertanam bagaimana caranya uang itu kembali kembali, kembali, dan kembali sehingga saya menjadi kaya, kaya, kaya, dan kaya.
Sejatinya profesi dokter baik itu dokter
umum maupun dokter gigi bahkan dokter spesialis sekalipun adalah
berfungsi sebagai pengabdi serta pelayan masyarakat, toh kalau
ada dokter dapat imbalan, kemudian menjadi kaya secara finansial,
hendaknya itu disikapi sebagai timbal balik dari kerja dokter yang telah
membantu pasien mencapai kesembuhan, seperti yang tertuang dalam sumpah
dokter yang berbunyi “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan”, dan perlu anda ketahui di sumpah dokter tidak ada bunyi “Saya akan bekerja untuk mendapatkan keuntungan”.
Berbeda dengan pembisnis, kalau
pembisnis sudah jelas orientasi mereka adalah mendapat keuntungan. Dan
memang benar kalau pembisnis sukses adalah pembisnis yang mendapat
keuntungan besar, terus guru yang sukses seperti yang tadi saya katakan
adalah guru yang bisa mengajari muridnya dengan baik sehingga muridnya
pintar bukan guru yang kaya raya, nah begitupun dokter yang sukses adalah dokter yang dapat membantu pasieunnya mencapai kesembuhan bukan dokter yang kaya raya.
Jadi kalau orientasi anda kaya raya
jangan masuk ke sekolah Kedokteran, masuk saja ke jurusan pembisnis atau
langsung saja investasikan uang ratusan juta anda untuk berbisnis tanpa
harus menunggu lama 5-6 tahun, tanpa menunggu jadi dokter uang ratusan
juta tersebut akan berkembang. Dan bagi anda termasuk saya sendiri yang
sudah masuk di sekolah Kedokteran atau anda yang sudah jadi dokter,
bukannya anda tidak boleh kaya! Kita semua harus kaya, kita semua punya
tanggung jawab untuk kita menafkahi sekarang atau nanti. Tapi kita yang
akan atau sudah menjadi dokter orientasi kita tetap untuk pengabdian,
jangan takut miskin dengan niat mengabdi, justru dengan kerja kita yang
tulus biasanya kerjanya akan semakin baik, dan semakin baik anda bekerja
semakin banyak pasien yang anda bantu, maka masalah finansial akan
datang sendiri tidak usah kita kejar, bahkan dengan kerja tulus dan
kerja baik kita biarkan uang mengejar kita.
Masih teringat jelas ketika semester
awal saya mengikuti perkuliahan di Kedokteran Gigi, topik kuliahnya
adalah pelayanan prima dan yang menjadi narasumbernya adalah salah satu
dosen/dokter senior yakni dr. Mambodyanto Sumoprawiro, SH., MMR.
dan memang secara finansial beliau dikategorikan sebagai orang yang
mapan. Saya sangat terinspirasi sekali mendengar ceritanya, dokter
senior yang merupakan mantan direktur Rumah Sakit Margono Soekarjo
(RSMS) Purwokerto ini menegaskan “Ketika awal-awal saya menjadi dokter
banyak sekali kasus-kasus yang saya tangani dan setelah saya tangani
sang pasien mengeluhkan tidak ada biaya, bukan menjadi masalah bagi saya
sebab niat saya adalah menolong. Luar biasa ternyata meskipun banyak
pasien yang berobat gratis kepada saya, tetapi saya sekarang tidak
bangkrut, justru sebaliknya saya mempunyai sodara dimana-mana”. Semoga
anda juga terinspirasi dengan kisah yang dialami beliau.
Rangkuman dari permasalahan kali ini
yang saya bahas, sangat omong kosong sekali kalau jadi dokter itu
dijamin mapan! Karena mapan atau tidaknya seseorang bukan ditentukan
dari profesinya, melainkan dari seseorangnya itu sendiri. lebih baik
kita berprofesi dan berpenghasilan biasa-biasa saja artinya mencukupi,
akan tetapi kita menguasai serta mencintai profesi kita itu dan hasilnya
pun akan maksimal. Daripada memaksakan bekerja pada bidang yang tidak
kita kuasai, tidak kita cintai. Pepatah mengatakan “Lebih baik menjadi sebutir intan diantara kumpulan pasir, daripada menjadi batu sungai diantara tumpukan emas”